Serat Bhatara Karang


I. Bhatara Karang

Bhatara Karang adalah seseorang yang sakti mandraguna. Setiap benda yang ia sentuh akan hancur lebur tanpa sisa. Tubuhnya kebal senjata. Hidupnya kekal tak bisa mati. Konon jasadnya pun ditolak bumi.

Hidup sebagai satria tanpa tanding, mengalami ratusan pertempuran, hanya karena sebuah alasan. Yaitu bosan hidup dan mencari jalan kematian.

Dalam pencariannya, Bhatara Karang mempelajari hakekat hidup dan kehidupan. Ilmu demi ilmu ia pelajari, guru demi guru ia temui, namun tak juga mengerti ilmu sejati. Apakah sebenarnya hidup ini?

II. Alam Kubur

Pada suatu saat ia mulai mengerti, bahwa hidupnya saat ini di alam kematian, karena hidup sejati tak akan dibatasi oleh mati. Bhatara Karang pun menyadari bahwa sebenarnya ia adalah ruh yang dukubur dalam tubuh. Dan tubuh manusia itu adalah hasil evolusi dari tanah. Inilah hakekat alam kubur yang sebenarnya.

III. Hari Kiamat

Setelah menyadari keberadaannya di alam kubur, ia hidup dalam penantian akan datangnya hari kiamat. Dan akhirnya hari yang dijanjikan itu datang juga, Bhatara Karang mengalami hari kiamat. Bukanlah hari kehancuran alam terhadap dirinya, tapi hari kehancuran dirinya terhadap alam. Yaitu berupa kebuntuan pikirannya. Maka jadilah ia tubuh tanpa tuan. Hidup diam tanpa ego. Kecewa pada kenyataan, bahwa ilmu kehidupan yang ia tau hanyalah prasangka dirinya sendiri terhadap perkataan orang lain. Namun hakekat hidup ini masih menjadi misteri tak bertepi. Inilah hakekat bunyi terompet sangkakala yang pertama.

IV. Hari Kebangkitan

Dalam keadaan hening tanpa prasangka, barulah ia menyadari. Bahwa Tuhan itu dekat, meliputi langit dan bumi, lebih dekat dari urat leher sendiri. Mulailah ia tertawa terbahak-bahak, tersadar dari keheningannya. Inilah hakekat bunyi terompet sangkakala yang kedua.

V. Padang Mahsyar

Setelah tau bahwa Tuhan itu dekat, maka perasaannya menjadi tidak karuan. Di satu sisi ia senang karena memahami Rukun Iman yang pertama, yaitu tentang Tuhan. Namun di sisi lain ia merasa sangat menyesal. Bhatara Karang merasa dirinya tidak pantas disebut manusia. Ia merasa tak lebih dari seekor hewan buas yang hidupnya hanya mengikuti naluri saja. Seakan-akan baru tersadar dari tidur panjangnya dalam tanah kuburan.

Dalam kebingungan pada kesadarannya yang baru. Perasaannya gerah, panas, dan sengsara. Tak tau harus bertanya pada siapa. Di hamparan padang Mahsyar yang hiruk pikuk oleh kesibukan manusia. Ia terus berjalan tak tentu arah. Pada suatu saat ia bertemu dengan ajaran Nabi Musa. Namun tak juga mengerti apa yang dicari. Lalu di lain waktu ia bertemu ajaran Nabi Isa. Tapi masih juga bingung hidup ini harus bagaimana?

Pada akhirnya ia bertemu ajaran Nabi Muhammad yaitu sholat, dan menjadi orang yang berserah diri (MUSLIMIN). Dalam ritual sholat itulah Bhatara Karang menemukan khusyu. Yaitu kondisi tenang dan menikmati. Inilah hakekat penderitaan di padang Mahsyar, sebuah pencarian untuk mempercepat hari perhitungan (yaumul hisab).

VI. Hari Perhitungan

Dalam keadaan hidup yang khusyu, Bhatara Karang pun mulai menyadari akan adanya diri yang lebih dalam. Diri yang lebih dalam ini bersifat tersembunyi (bathin), dan saat ini dikenal dengan sebutan pikiran bawah sadar. Di sanalah ia menyadari bahwa semua amal perbuatannya tercatat dengan baik, tak ada satu pun yang terlupa. Dan ia kini menjadi orang yang yakin (MUKMININ).

Sebagai mana disebutkan dalam kitab suci: { Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu"  }. Inilah hakekat hari perhitungan.

VII. Timbangan Amal

Satu per satu amal perbuatannya mulai ia hitung sendiri. Ada perbuatan baik, dan banyak juga perbuatan buruk. Perlahan tapi pasti, ia mulai teringat akan pengalaman hidupnya. Ternyata kebaikan dan keburukan yang ia perbuat akan kembali kepada dirinya sendiri. Akhirnya ia memahami Hukum Tarik-Menarik (Law of Attraction). Inilah hakekat timbangan amal.

VIII. Syafaat Nabi

Dalam kesedihan akan banyaknya catatan amal perbuatan buruk, Bhatara Karang memohon syafaat kepada Nabi. Maka datanglah syafaat berupa petunjuk untuk menempuh jalan hidup yang lurus. Yaitu jalan yang sulit untuk dilalui, sedikit saja menyimpang pasti akan celaka. Sungguh bagaikan berjalan di atas rambut yang dibelah tujuh.

Kata Nabi kepada Bhatara Karang, "Jalan hidup yang lurus itu adalah jalan hidup yang menimbulkan bahagia di dalam hati yang bersih, dan jika dijalankan akan terasa mudah".

Dengan berbekal ilmu khusyu yang didapatkan dari ritual sholat, maka ia dapat melakukan iqro. Yaitu kemampuan mengkaji diri dan lingkungan. Teknik iqro inilah yang membuatnya bisa melihat jalan yang lurus. Yaitu jalan hidup yang di dalam terasa bahagia dan di luar terasa mudah. Inilah hakekat syafaat Nabi.

IX. Jembatan Shirothol Mustaqim

Hari demi hari berlalu, Bhatara Karang berusaha agar tetap berjalan di atas jalan yang lurus. Semakin cinta pada kenikmatan dunia, maka semakin lambat langkahnya.  Semakin bersih dari keterikatan hati pada kenikmatan dunia, maka semakin cepat langkahnya. Dan ia menjadi orang yang selalu berbuat baik karena selalu merasa diawasi Allah (MUKHSININ). Inilah hakekat jembatan Shirothol Mustaqim.

X. Neraka

Ketika hatinya jatuh cinta kepada kenikmatan dunia, maka sering kali pikirannya memutuskan untuk menempuh jalan yang salah. Yaitu jalan hidup yang di dalam terasa sengsara dan di luar terasa sulit. Bagaikan tergelincir dari jembatan Shirothol Mustaqim. Inilah hakekat Neraka.

XI. Telaga Kautsar

Di ujung jalan hidup yang lurus Bhatara Karang merasa lega hatinya. Kini hilanglah sudah rasa haus dan dahaga pada kenikmatan dunia. Ia menempuh jalan hidup tanpa mengikuti hawa nafsu. Semua langkah hidupnya sesuai dengan ayat-ayat Tuhan yang ia kaji dalam dirinya dan pada lingkungannya. Dan ia melakukan penerimaan diri serta ridho pada hasil kerja kerasnya (MUKHLISIN). Inilah hakekat meminum air dari Telaga Kautsar.

XII. Syurga

Setelah meminum air dari telaga Kautsar, Bhatara Karang memasuki babak baru dalam hidupnya. Yaitu hidup dengan penuh kesadaran akan kebahagiaan dan kemudahan. Kenyamanan hidup ini adalah hasil perjuangan panjang dalam mendidik dirinya sendiri agar selalu berjalan di atas jalan yang lurus. Dan ia menjadi orang yang taat (MUTAQIN). Inilah hakekat Syurga.

XIII. Penutup

Sebagai mana disebutkan dalam kitab suci: { Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)". }

Setelah melihat komentar yang ada, maka saya mempunyai kewajiban moral untuk menyampaikan ini:

Oke ya, udah kenyang komen nya. Nah baru deh aku buka penjelasannya. Fungsi dari SERAT BATARA KARANG ini adalah untuk mencoba membuka paradigma berpikir teman2 yang terkunci oleh doktrin dan prasangka. Sehingga diharapkan teman2 bisa lebih open mind dalam memahami kehidupan. Jadi bukan masalah serat ini benar atau salah. SERAT ini hanya KATA PENGANTAR yang akan mengantarkan teman2 untuk melihat sendiri kebenaran, bukan hanya mengikuti doktrin dan prasangka. Selamat membuka paradigma berpikir, THINK OUT OF THE BOX, dan temukan sendiri kebenaran versi anda masing2. Love, Peace, and Freedom

Oleh: Surya Mandala

Ihdinaa alshshiraatha almustaqiim


“Ihdinaa alshshiraatha almustaqiim: Bukan hanya minta ditunjukan tapi dihantar sekalian di atas Shirathal Mustakim”

Shirathal Mustakim, ia diumpamakan sebagai jembatan (bridge), adalah sebuah jembatan yang sangat licin, kaki sulit sekali berdiri di atasnya karena menurut banyak riwayat jembatan itu tipisnya seukuran sehelai rambut dibelah tujuh dan lebih tajam dari pada pedang.

Banyak tipe golongan manusia yang melintas jembatan yang dibangun diatas neraka tersebut; ada golongan yang dapat melintasinya secepat kilat., ada golongan yang dapat melintasinya seperti tiupan angin, ada golongan yang dapat melintasinya dalam jangka waktu sehari semalam, Ada golongan yang dapat melintasinya selama 25 ribu tahun, ada golongan yang dapat melintasinya dengan tertatih-tatih, dan banyak golongan yang jatuh terperosok.

Melintas di jembatan Shiratal Mustaqim itu adalah perumpamaan betapa sulitnya berjalan diatas jalan yang lurus selama hidup di dunia ini. Sulitnya tidak hanya terletak pada waktu berjalan di atasnya, tapi sulit menentukan tujuan yang lurus. Sulit tidak hanya karena menjalankan perintah dan meninggalkan larangan agama, tapi sulit menentukan tujuan menjalankan perintah dan meninggalkan larangan agama itu apa?

Shiratal Mustaqim (yang arti harfiahnya jalan yang lurus) itu tidak hanya jembatan atau jalan, tapi juga bisa berupa petunjuk, atau bahkan Al-Qur’an itu sendiri juga Shiratal Mustaqim karena ia mengajak ke jalan yang lurus. Maka sebenarnya setiap langkah kita saat ini adalah berjalan diatas Shiratal Mustaqim, setiap aliran darah yang di pompakan dari jantung keseluruh tubuh adalah Shiratal Mustaqim, setiap gerak dari seluruh badan kita adalah Shiratal Mustaqim, setiap ide, buah pikiran dan keputusan-keputusan yang kita ambil adalah Shiratal Mustaqim.

Untuk mengatasi tingkat kesulitan selama berjalan di atas Shiratal Mustaqim itu jangan hanya mengartikan bahwa “Ihdinaa alshshiraatha almustaqiim” adalah “tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus”, tapi “hantarkanlah kami ke jalan yang lurus”, karena petunjuk aja tidak cukup dan masih bisa tersesat, tapi meminta dihantar sekalian menuju tujuan yang benar, yaitu “Shiraatha alladziina an'amta 'alayhim”, bukan “ ghayri almaghdhuubi 'alayhim walaa aldhdhaalliina”.
Silahkan tentukan sendiri bertujuan kemana Shiratal Mustaqim itu!