Isra Mi’raj adalah sebuah discovery. Jika hari kemarin dianggap sebagai hari penting yang layak diperingati dan direnungkan oleh umat Islam, itu karena Isra Mi’raj adalah capaian tertinggi yang dapat dilakukan oleh seorang manusia.
Akal kita memang tertutup terhadap hal-hal ghaib, oleh karenanya yang ghaib mustahil dapat dipikirkan, ditemukan atau dibuktikan. Tetapi ghaibnya Tuhan berbeda, Dia bisa di-discover. Dan Muhammad SAW telah berhasil men“discover”Nya melewati ujung langit paling tinggi Baitul Makmur, di Sidratul Muntaha.
Sidratul Muntaha secara harfiah berarti “Pohon Terang”, simbol ilmu pengetahuan paling tinggi bagi masyarakat Timur Tengah. Umat Nasrani memiliki “Pohon Natal”. Begitu juga umat Yahudi, nabi Musa melihat “Pohon Yang Terbakar” saat menerima wahyu di bukit Sinai. Dalam sufisme, puncak ilmu pengetahuan ini biasa mereka sebut sebagai “penyatuan” dengan Tuhan, Manunggaling Kawulo Gusti.
Sejak kecil Muhammad SAW telah menunjukkan, bahwa dirinya adalah seorang pencari “ilmu” yang tak kenal lelah. Dia berguru kepada irama angin gurun dan derap dinamika orang-orang disekitarnya. Muhammad SAW tak mengikuti desain apapun tentang pendidikan, sehingga “ilmu” menjadi pengertian yang bermasalah. Tak ada tujuan yang pasti. Tak ada maksud untuk mencapai hasil. Proses belajar Muhammad SAW bukanlah proses untuk “mengetahui” lalu “mendapatkan”, tapi proses untuk “menyadari” lalu “menjadi”. Sampai pada akhirnya Jibril membelah dadanya, mengeluarkan alaqah – bintik hitam – dari hatinya, hingga mata hatinya terbuka dan nyala pikirannya bersinar. Dari situlah kemudian ia mendapatkan “ilmu”dan menemukan hakekat Kebenaran di Sidratul Muntaha.
Ketika agama-agama dengan juru bicaranya yang sengit di mimbar, memandang dunia yang harus terus-menerus dicurigai, wilayah dimana Iblis, bukan Tuhan, yang dekat. Dimana todongan jutaan tangan orang yang berdoa dan jutaan menara tempat ibadah yang mencuat ke langit, seperti moncong-moncong bedil dan meriam yang memusuhi. Tuhan-pun lari ketakutan, bersembunyi didalam ruang gelap yang hampir-hampir tak pernah dikunjungi oleh umat manusia, yaitu hati nurani.
Tuhan yang mengatakan, bahwa Dia lebih dekat dari urat nadi kita, oleh agama-agama ternyata diposisikan begitu jauh. Namun bagi Muhammad SAW, dengan “pengetahuan”nya itu, dia telah meletakkan Tuhan sangat dekat. Tuhan yang tinggal di kamar sebelah, Tuhan yang mudah diajak bicara, Tuhan yang disapanya di Sidratul Muntaha dengan segala ketakjuban: “ Segala penghormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikkan hanya untukMu, ya Allah” – Attahiyyatul mubarakaatush shalawaatuth thayyibatulillah. Sebuah capaian keilmuan paling tinggi: “bertemu” Tuhan.
“Salam sejahtera wahai Nabi, rahmat dan berkat Allah selalu tercurah kepadamu”, sahut Tuhan – assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wabarakaatuh. Berdialog dengan Tuhan, Manunggaling Kawulo Gusti adalah sebuah puncak momen pengetahuan, itu kekal, karena ia berada diluar waktu. Kebahagian merasakan keindahan, keterpesonaan, ketakjuban Muhammad SAW saat bersua dan saling menyapa dengan Sang Cahaya bukanlah sesuatu yang yang terlepas dari obyeknya yang fana atau berlalu melalui ketiadaan.
Momen akan punah, ingatan akan hilang, tapi peristiwa keindahan yang dialami oleh Muhammad SAW adalah puncak ilmu pengetahuan, hakekat Kebenaran. Itu abadi, dia nir ruang, dia nir waktu. Mazdub, istilah sufinya. Tak ada kata yang dapat melukiskan “puncak kenikmatan surgawi” ini. Manusia akan kehilangan kesadaran dan trance atau mazdub, mabuk dalam Tuhan. Kondisi inilah yang selalu ingin dicapai oleh para sufi dalam setiap pendakian spiritual mereka. Lantas, apakah Muhammad SAW mabuk ketika mengalami keadaan surgawi tersebut?. Tidak, sama sekali tidak!. Rasulullah SAW tak pernah mabuk oleh apapun, apakah itu penderitaan atau kebahagiaan, rahmat atau cobaan. Beliau tetap tidak pernah lupa daratan.
Lalu, apa yang Muhammad SAW pikirkan saat mengalami peristiwa dahsyat di Sidratul Muntaha?. Tak lain adalah para sahabat dan para umatnya. Simak katanya kemudian kepada Tuhan, “assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”- “Sampaikan juga salamMu kepada kami dan orang-orang yang saleh”. Muhammad SAW menggunakan kata “kami”, bukan “aku”, serta orang lain yang saleh. Ini adalah sebuah bukti betapa luhur budi pekerti Rasulullah SAW. Ini juga sebuah bukti bahwa tujuan agama bukanlah Tuhan, tapi manusia itu sendiri.
Langit tergoncang. Para malaikat tergetar mendengar dialog Tuhan dengan Muhammad SAW di Sidratul Muntaha. Betapa mulia hati Muhammad SAW, manusia setengah dewa itu. Kemudian serentak para malaikat bersujud dan memekikkan ikrar : “Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah” – ashadu allaa illaaha illallaah waashadu anna muhammadan rasuulullaah. Itulah Isra Mi’raj, jantungnya ibadah, yaitu menuju Tuhan lalu kembali lagi menuju kepada manusia. Menemui Sang Khalik untuk kemudian kembali melayani mahluk. Manunggaling Kawulo Gusti yang termanifestasikan kedalam Manunggaling Kawulo Kawulo.
Pembaca yang budiman, peristiwa Isra Mi’raj diatas sesungguhnya selalu kita ulang didalam sholat-sholat kita, paling tidak sembilan kali dalam sehari. Bacaan tahiyyat dalam sholat-sholat kita adalah rekaman Isra’ Mi’raj nabi. Ketika di Timur rekaman itu belum selesai diputar, di Barat telah dimulai diputar lagi, begitu seterusnya. Rekaman itu selalu berputar seiring perputaran bumi, tak pernah putus sampai kiamat. Sholat adalah Isra Mi’raj, yaitu menuju kepada Tuhan lalu kembali lagi menuju kepada manusia. Oleh karenanya, jika sholat tidak diletakkan ke dalam sebuah konteks sosial, maka ia hanya seperti sebuah lelucon: sekedar menggerak-gerakkan badan sambil mulut komat-kamit.